Globalisasi
Ekonomi Menurut Kenichi Ohmae
Melahirkan Pasar Bebas Tanpa Batas
Dalam
era globalisasi ekonomi, para pelaku ekonomi, yaitu para pengusaha (saudagar),
menjadi kekuatan yang daya jangkaunya melewati batas-batas negara, bahkan
meminimalkan peran negara. Negara menjadi tidak berdaya, dikebiri perannya,
bahkan hingga ditundukkan di bawah kekuatan para pengusaha. Tunduknya negara
pada kekuatan ekonomi dunia yang tak terbatasi membuat negara kemudian tampil
tidak lagi melindungi warganya, tetapi melindungi para pengusaha, yakni para
pelaku ekonomi perusahaan-perusahaan multinasional (MNC/multinational corporations). Akibatnya, warga atau masyarakat yang
ada di bawah kekuasaan negara menjadi korban utamanya.
Jika
melihat fenomena seperti itu, bisa jadi globalisasi merupakan kutukan bagi
Negara atau masyarakat yang lemah atau tidak mempunyai sumber daya yang berdaya
tawar tinggi. Negara saja tidak mampu mengatur kegiatan ekonomi, Negara saja
tidak mampu menahan gempuran-gempuran keserakahan globalisasi, bagaimana dengan
masyarakat lemah/kecil yang sama sekali tidak memiliki akses untuk bersaing
dengan gurita-gurita raksasa.
Tunduknya
negara berarti pesta-pora bagi para saudagar. Sektor-sektor ekonomi negara
dikuasai MNC. Warga negara yang kemudian menjadi korban utama, karena
sektor-sektor ekonomi yang seharusnya melibatkan mereka dikuasai
perusahaan-perusahaan multinasional.
Kenichi
Ohmae mengatakan, globalisasi akan mengakibatkan hilangnya peran negara (the end of the nation state). Namun,
nyatanya hingga detik ini negara di dunia masih tetap ada dan bertahan, tidak
ada yang bubar gara-gara globalisasi. Posisi tawar negara sebenarnya masih
kuat. Ini mestinya bisa digunakan sebagai senjata negosiasi negara melawan
globalisasi yang membuat masyarakat menderita, tidak terlindungi.
Bagaimana
caranya negara khususnya Negara dunia ketiga tetap berwibawa, berdaulat, dan
kuat, tidak menjadi centeng kekuatan ekonomi multinasional, tetapi justru
memanfaatkan mereka untuk kepentingan masyarakatnya?
Menantang
para pengusaha multinasional tidak harus dengan cara ekstrem dengan cara
menutup atau mengisolasi diri, dan tidak mau menerima investor asing.
Pemerintah juga tidak perlu terlalu terbuka hingga menjadi centeng bagi para pengusaha
multinasional itu, yang berarti mengorbankan masyarakat. Pada intinya negara
harus kuat jika ingin membendung efek negatif globalisasi bagi warga negara.
Itu berarti negara harus tetap ada dan bertahan. Negara tidak boleh lenyap
karena globalisasi.
b.
Globalisasi Melahirkan Kehampaan
(Nothing) menurut George Ritzer
Teori-teori
George Ritzer dalam buku terbarunya yang provokatif, Mengkonsumsi Kehampaan di
Era Globalisasi atau Globalisasi Ketiadaan, bahwa “narasi besar” atau kisah
masyarakat pada zaman ini, merupakan sebuah gerakan dari “sesuatu” menuju
“ketiadaan”. Dengan mengandalkan namun melampaui tesis McDonaldisasinya yang
termashyur, Ritzer berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat di bumi ini terus
bergerak dari “sesuatu”, yang didefenisikan sebagai sebuah bentuk sosial yang
umumnya dipahami sebagai, dikontrol secara likal, dan kaya akan isinya yang
khas. Ritzer memperlihatkan bahwa kita sedang bergerak menuju “ketiadaan” yang dikontrol dan disusun secara terpusat
dan relatif tanpa substansi yang khas. Dalam gerakan menuju globalisasi
“ketiadaan” inilah implikasinya “sesuatu” menjadi hilang. Lebih dari itu, bahwa
“sesuatu” merupakan sebuah kebiasaaan asli, sebuah toko lokal, sebuah tempat berkumpul
yang akrab, atau interaksi yang personal.
Ketika
transaksi-transaksi (hubungan sosial) dilakukan tanpa tatap muka langsung, juga
merupakan gejala kehampaan. Masyarakat atau manusia sudah kehilangan
substansinya sebagai makhluk sosial. Jadi, persoalan utama di dunia saat ini
didefenisikan sebagai “kehilangan di tengah-tengah kelimpahan monumental (dari
ketiadaan).
Implikasi lainnya bagi
peradaban manusia adalah dalam terjadi pola hidup konsumerisme, individualisme,
dan gaya hidup hedonis lainnya. Lalu, bagaimana kita menyikapinya? Dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan maraknya mal-mal serta
gerai-gerai makanan siap saji (KFC, McDonald, dll) kita akan terkesan
mengkonsumsi sesuatu yang hampa karena semua dikerjakan dalam standar yang sama
, tidaka ada keunikan/kekhasan apa yang kita konsumsi sehingga kita kehilangan
substansi dari sebuah konsumsi. Tentunya ini sebuah realitas yang sulit
dihindari, namun agar kita tidak terjebak pada pola yang dimaksud oleh George
Ritzer adalah dengan terus mengembangkan interaksi sesama manusia. Interaksi
atau lebih bagusnya lagi silaturahmi akan membuat kita tidak kehilangan
“kemanusiaan kita”. Kalau setiap transaksi kita hanya diam menunggu mesin
penghitung yang menghitung, menunggu masakan yang rasa asin atau pedasnya sudah
pasti sama, maka saat itulah kita kehilangan sisi kemanusiaannya, kita akan
sama dengan mesin penghitung di mal-mal dan bahkan kita tunduk pada mesin-mesin
tersebut.
Sumber
Bacaan
Fajar
Kurnianto. 2011. Negara dan Globalisasi
Ekonomi. http:// fajar83kurnianto.blogspot.com.
Harwan
AK. 2011. Mengkonsumsi Kehampaan:
George Titzer dan Sponge Bob Squarepant. http://weliveby.blogspot.com.
No comments:
Post a Comment