A.
Pengantar
Topik ini berisi pembahasan tentang masalah keimanan dan pengkajian kembali
dalam masalah tersebut. Sebagian aspek keimanan mendapat perhatian dan
pengkajian yang begitu intensif, sehingga mudah didapat di tengah masyarakat.
Aspek yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek
ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya.
Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan
diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu diperhatikan
dan harus diutamakan dalam menyempurnakan cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalan lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah
tidak akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai
keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati
dan tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan
pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak
pandai membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai keimanan
dalam nalar pikir dan akal budi mereka”, maka mereka tidak akan selamat dari
pengaruh negatif pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada yang kurang dalam
sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila
ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang
terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran
spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar,
pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam
berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka
mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat
kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun kemurnian
akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis yang
menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam hanya
menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran
akidah yang benar dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam aturan muamalat dan dalam memberikan solusi
serta terapi bagi persoalan yang dihadapi. Selain itu Islam adalah agama
ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati yang dipenuhi
dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari dorongan hawa nafsu, egoisme,
dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang tidak sempurna, jika kehangatan
spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan pengalaman ilmiah dan
ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat pentingnya mata bagi orang
yang sedang berjalan.
B.
Siapakah Tuhan itu?
Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya
dalam surat al-Furqan ayat 43.
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhannya ?
Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku
tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku’.
Contoh
ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau
keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan
dipuja). Perkataan ilah dalam
al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad:
ilaahun), ganda (mutsanna:
ilaahaini), dan banyak (jama’:
aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat
mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika
al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang
dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan
dirinya dikuasai olehnya.
Perkataan dipentingkan hendaklah
diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan,
diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk
pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah
sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah
ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk
kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan
ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin, 1989: 56).
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa
berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia
tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika
al-Qur’an setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan
demikian, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan
mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa
illaha illaa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan,
yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan suatu penegasan
“melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan dari
segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan
yang bernama Allah.
C. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
1.
Pemikiran
Barat
Yang dimaksud
konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas
hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang
bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori
yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama
kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh
Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan
Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme
adalah sebagai berikut:
a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak
zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan.
Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan
pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh
positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda
disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu),
dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak
dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap
sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia
dapat dirasakan pengaruhnya.
b.
Animisme
Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai
adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap
benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh
dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh
karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa
senang, rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang
apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak
terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan
roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk
memenuhi kebutuhan roh.
c.
Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,
karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari
yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu
sesuai dengan bidangnya. Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada
yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
d.
Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan
terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui
diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama.
Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu).
Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia
masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa
lain. kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan
tingkat Nasional).
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme
melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk
seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari
filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu: deisme, panteisme, dan
teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh
Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang
menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa
orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang
Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat
yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang
lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang,
maka berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya
sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan
memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa
ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau
wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam
kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam
penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat
primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu
Tuhan. (Zaglul
Yusuf, 1993: 26-37).
2.
Pemikiran
Umat Islam
Dikalangan
umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok berpegang
teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai
kekuatan mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang
berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah
yang menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat
Islam pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang
cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh
Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti
Abbasiah). Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah
politik umat Islam setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala
pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai
pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan
Ali.
Embrio
ketegangan politik sebenarnya sudah ada
sejak khalifah Abu Bakar, yaitu persaingan segitiga antara sekompok orang
Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang Muhajirin yang fanatik dengan garis
keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan kelompok mayoritas yang mendukung
kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak
politik tidak muncul, karena sikap khalifah yang tegas, sehingga kelompok
oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan gerakannya.
Ketika
khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik
menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada
masa khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga
Abdul Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai
khalifah terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya,
yaitu Ali Ibn Abi Thalib. Dendam yang
dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas dengan darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di
bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak
terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara dua kubu yang berselisih
mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok Muawiyah, perjanjian damai
hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai
diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling
bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali
(sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa
perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi
dua kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang
menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama
disebut dengan kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan
demikian umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok
Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.
Untuk
memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-segan
menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok
lainnya. Menurut Khawarij semua pihak
yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah maupun pihak Ali dinyatakan
kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang pemerintah, sedangkan
pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para
pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka
mengkafirkan Ali dan para pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah
(5) : 44
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Siapa
yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Quran),
maka mereka dalah orang-orang kafir.
Munculnya
doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain membuat
pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik
(pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan
Al-Bashry. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat
tentang orang yang berbuat dosa besar.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat
lain mengatakan kafir. Para pelaku politik
yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak Muawiyah, mereka
dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan mereka itu mukmin
beralasan bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan orang lain tidak ada yang
mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan
bahwa iman itu bukan hanya di hati melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan
perbuatan. Berarti orang yang melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin.
Kalau mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.
Sebelum
guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan tentang
dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha
mengajukan jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir
melainkan diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut
memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa pelaku dosa
besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk kelompok fasik.
Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina dimata
Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil bersama
beberapa orang yang sependapat dengannya
memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta pengajian yang
tetap bergabung bersama Hasan Al-Bashry mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil
telah memisahkan diri dari kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan
pendukungnya disebut kelompok MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun Nasution
dalam Teologi Islam).
Kelompok
Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep yang
diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik
pada waktu itu, yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang
arus). Doktrin Muktazilah terkenal dengan lima
azas (ushul al-khamsah) yaitu:
- meniadakan (menafikan)
sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya
- Janji dan ancaman Tuhan
(al-wa’ad dan al-wa’id)
- Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
- Al-Manzilah baina
al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
- Amar Ma’ruf dan Nahi
Munkar.
Dari
lima azas
tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-kewajiban. Tuhan
wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga
dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain.
Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang
kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional
dengan sebutan Qadariah.
Sebaliknya,
aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat
(sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak.
Kehendak Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja
menempatkan orang yang baik ke dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia
menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki. Dari faham
Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat Islam.
3. Konsep Ketuhanan dalam
Islam
Istilah
Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi
penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang
yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran
konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu
Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah
(tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat
pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) :
165, sebagai berikut:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ
دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
Diantara
manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap
Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.
Sebelum
turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid
(monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari
ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara
ritual. Abu Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan
Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata
Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah)
telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan
akan adanya Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah
mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang
dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam
mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat.
Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang
mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.
Pengakuan
mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al-Quran surat Al-Ankabut (29)
ayat 61 sebagai berikut;
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَوَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
Jika
kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.
Dengan
demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti orang itu
beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada
Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti
konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu
Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta,
melainkan juga pengatur alam semesta.
Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana
dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai
jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus
terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah
sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah
hasanah.
Kepustakaan
1.
Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah
Tauhid, (Jakarta: Yayasan Sari Insan, 1989), h. 16-21, 54-56.
2. Al-Ghazali, Muhammad
Selalu Melibatkan Allah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 28-39.
3.
Jusuf, Zaghlul, Dr, SH., Studi Islam,
(Jakarta: Ikhwan, 1993), h. 26-37.
4.
Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. Biologi Iman, (Jakarta:
al-Hidayah, 1981), h. 9-11.
5. Khan, Waheduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1983), h. 39-101.
6.
Suryana, Toto, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara,
1996), h. 67-77.
7.
Daradjat, Zakiah, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1996), h. 55-152.