My Blog List

Sunday, November 23, 2014

MODEL LAYANAN PENDIDIKANANAK TUNALARAS, ANAK BERKESULITAN BELAJAR KHUSUS DAN ANAK BERBAKAT

MODEL LAYANAN PENDIDIKAN ANAK TUNALARAS,
ANAK BERKESULITAN BELAJAR KHUSUS DAN ANAK BERBAKAT
 
A.  Layanan Pendidikan Anak Tunalaras
1.      Bentuk atau model layanan dan teknik pendekatan
Sehubungan dengan model yang digunakan dalam memberikan layanan kepada anak tunalaras, Kauffman (1985) mengemukakan jenis-jenis model pendekatan sebagai berikut :
a.       Model biogenetik
Model ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa gangguan perilaku disebabkan oleh kecacatan geniti atau biokimiawi sehingga penyembuhannya ditekankan pada pengobatan, diet, olahraga, operasi, atau mengubah lingkungan.
b.      Model behavioral (tingkah laku)
Model ini mempunyai asumsi bahwa gangguan emosi merupakan indikasi ketidakmampuan menyesuaikan diri yang terbentuk, bertahan, dan mungkin berkembang karena berinteraksi dengan lingkungan, baik di sekolah maupun di rumah. Oleh karena itu, penanganannya tidak hanya ditujukan kepada anak, tetapi pada lingkungan tempat anak belajar dan tinggal.
c.       Model psikodinamika
Model ini berpandangan bahwa perilaku yang menyimpang atau gangguan emosi disebabkan oleh gangguan atau hambatan yang terjadi dalam proses perkembangan kepribadian. Oleh karena itu, untuk mengatasi gangguan perilaku itu dapat diadakan pengajaran psikoedukasional, yaitu menggabungkan usaha membantu anak dalam mengekspresikan dan mengendalikan perasaannya.
d.      Model ekologis
Model ini menganggap bahwa kehidupan ini terjadi karena adanya interaksi antar individu dengan lingkungannya. Gangguan perilaku terjadi karena adanya disfungsi antara anak dengan lingkungannya. Oleh karena itu, model ini menghendaki dalam memperbaiki problem perilaku agar mengupayakan interaksi yang baik antara anak tentang lingkungannya.
Beberapa teknik pendekatan yang digunakan dalam mengatasi masalah perilaku, diantaranya adalah :
a)    Perawatan dengan obat
Kavale dan Nye (1984) mengemukakan bahwa obat-obatan dapat mengurangi atau menghilangkan gangguan perilaku.
b)   Modifikasi perilaku
Ada beberapa langkah dalam melaksanakan modifikasi perilaku, yaitu :
1)      Menjelaskan perilaku yang akan diubah;
2)      Menyediakan bahan yang mengharuskan anak duduk diam;
3)      Mengatakan perilaku yang diterima.
c)    Strategi psikodinamika
Tujuan utama pendekatan psikodinamika adalah membantu anak menjadi sadar akan kebutuhannya, keinginan, dan kekuatannya sendiri.
d)   Strategi ekologi
Pendukung teknik, mengasumsikan bahwa dengan diciptakannya lingkungan yang baik maka perilaku anak akan baik pula.
  1. Tempat layanan
a.    Tempat khusus
Tempat dikenal dengan Sekolah Luar Biasa Anak Tunalaras (SLB-E). Sama halnya dengan sekolah luar biasa yang lain SLB-E memiliki kurikulum dan struktur pelaksanaannya yang disesuaikan dengan keadaan anak tunalaras.
b.   Tempat integrasi (terpadu)
Dari banyak jenis anak tunalaras, ada 3 jenis yaitu hyperactive, distraktibilitas, dan impulsitas yang kemungkinan banyak dijumpai di sekolah biasa, dimana mereka belajar bersama-sama dengan anak normal. Oleh karena itu, pada uraian berikut akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan dengan layanan anak-anak tersebut.
1)        Hiperaktif
Ciri-ciri anak hiperaktif adalah sebagai berikut.
·      Gerakannya terlalu aktif, tidak bertujuan, tak mau diam sepanjang hari, bahkan waktu tidur ada yang melakukan gerak di luar kesadaran;
·      Suka mengacau teman-teman sebayanya, dalam bertindak hanya menurutkan kata hatinya sendiri, dan mudah tersinggung;
·      Sulit memperhatikan dengan baik.
Beberapa cara/teknik dalam mengadakan layanan untuk anak hiperaktif ini antara lain:
a.    Medikasi
Medikasi yang sering dipakai adalah penggunaan obat-obat perangsang saraf terutama yang ada kaitannya dengan penenangan.
b.   Diet
Diet yang dianjurkan adalah pantangan berbagai macam makanan, termasuk makanan yang mengandung zat pewarna atau penyedap rasa tiruan yang dapat menyebabkan hiperaktif.
c.    Modifikasi tingkah laku
Perilaku juga akan dapat diubah dan dikendalikan dengan mengatur pola interaksi antara individu dengan lingkungannya.
d.    Lingkungan yang terstruktur
Pada dasarnya pendekatan ini menekankan pengaturan lingkungan belajar anak sehingga tidak menjadi penyebab munculnya perilaku hiperaktif.
e.    Modeling
Sistem meniru dapat dipakai untuk mengurangi perilaku hiperaktif. Prosedur yang dipakai adalah dengan menyuruh anak normal di kelas untuk member contoh perilaku yang baik.
f.    Biofeedback
Biofeedback merupakan teknik pengendalian perilaku atau proses biologis internal dengan cara memberi informasi kepada anak mengenai kondisi perilaku dan tubuhnya.
2)        Distraktibilitas
Distraktibilitas merupakan gangguan dalam perhatian pada stimulus yang relevan secara efisien. Ada 3 distraktibilitas, yaitu :
a.    Short attention span dan frequent attention shifts
b.    Underselection attention
c.    Overselective attention
Ada beberapa cara yang digunakan dalam memberi layanan kepada anak-anak tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut.
1.   Lingkungan yang terstruktur dan stimulus yang terkendali.
2.   Modifikasi materi dan strategi pembelajaran
3.   Modifikasi tingkah laku.
3)        Impulsivitas
Seseorang dikatakan impulsif jika cenderung mengikuti kemauan hatinya dan terbiasa bereaksi cepat tanpa berpikir panjang dalam situasi sosial maupun tugas-tugas akademik.
Adapun beberapa metode untuk mengendalikan impulsif, diantaranya :
a.    Melatih verbalisasi aktivitasnya untuk menendalikan perilakunya;
b.   Modifikasi tingkah laku;
c.    Mengajarkan seperangkat keterampilan kepada anak, antara lain keterampilan memusatkan perhatian, menghindari gangguan/stimulasi pengganggu, mengembangkan keterampilan mengingat, menghargai perasaan;
d.   Mendiskusikan perilaku anak antara guru dengan anak itu sendiri untuk memperoleh pemahaman akan masalah perilaku anak itu;
e.    Wawancara dengan anak segera setelah perilaku terjadi untuk melihat apa yang telah terjadi, mengapa terjadi, dan apa yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya masalah.
  1. Fasilitas pendidikan untuk anak tunalaras
Fasilitas pendidikan untuk anak tunalaras relatif sama dengan fasilitas pendidikan untuk anak normal pada umumnya. Fasilitas ruangan kelas tidak menggunakan benda-benda kecil yang terbuat dari bahan yang keras, sehingga mempermudah mereka untuk mengambil dan melemparnya. Fasilitas lain lebih berkaitan dengan ruangan terapi dan sarana terapi. Terapi tesebut meliputi :
·      Ruangan fisioterapi dan peralatannya, yaitu peralatan yang lebih diarahkan pada upaya peregangan otot dan sendi, dan pembentukan otot, misalnya: barbel, box tinju, dan sebagainya.
·      Ruangan terapi bermain dan peralatannya, yaitu peralatan yang lebih diarahkan pada model terapi sublimasi dan latihan pengendalian diri. Misalnya puzzle dan boneka .
·      Ruangan terapi okupsi dan peralatannya, yaitu peralatan yang lebih diarahkan pada pembentukan keterampilan kerja dan pengisian pengisian waktu luang sesuai dengan kondisi anak.
B.  Layanan Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar Khusus
1.      Bentuk atau model layanan
Menurut Jerome Rosner (1993) dikutip dalam Suparno ada tiga macam layanan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar khusus, yaitu :
a.       Layanan Remidiasi
Layanan remidiasi terfokus pada upaya menyembuhkan, mengurangi, bahkan kalau mungkin mengatasi kesulitan yang dialami anak. Dalam layanan ini anak dibantu dalam keterampilan perseptual dan kecakapan dasar berbahasa, sehingga ia mampu memperoleh kemajuan belajar yang normal. Dalam layanan remidiasi ini sering digunakan beberapa teknik dalam modifikasi perilaku, diantaranya dengan pemberian penguatan, atau teknik lain yang sesuai dengan kebutuhan anak.
b.      Layanan Kompensasi
Layanan kompensasi diberikan dengan cara menciptakan lingkungan belajar khusus di luar lingkungan belajar yang normal, sehingga memungkinakan anak memperoleh kemajuan dalam pembentukan perceptual dan bahasa. Dalam melaksanakan layanan kompensasi, Kartadinata dkk (1998/1999) memberikan patokan atau rambu-rambu sebagai berikut :
§  Pahami dan pastikan anak memiliki pengetahuan factual yang diperlukan dalam mempelajaru bahan ajar;
§  Batasi jumlah informasi baru pada hal-hal yang tercantum dalam bahan ajar, sampaikan sedikit demi sedikit;
§  Sajikan informasi dengan jelas tentang apa yang harus dipelajari oleh anak;
§  Nyatakan secara eksplisit bahwa informasi yang diajarkan berkaitan dengan informasi yang telah dimiliki anak dan sedapat mungkin menggunakan contoh (konkret).
§  Jika anak sudah mampu menguasai unit-unit kecil perkenalkan dia ke unit-unit yang lebih besar;
§  Siapkan pengalaman ulang anak untuk memperkuat informasi baru dalam ingatan anak;
§  Lakukan drill, latihan efektif dengan melibatkan seluruh indra untuk membuat persepsi yang sempurna, yaitu dengan jalan mendengar, membaca, menulis, dan berbuat.
c.       Layanan Prevensi
Layanan prevensi adalah layanan yang diberikan sebelum anak mengalami ketunacakapan belajar di sekolah. Layanan ini diawali dengan melakukan identifikasi terhadap aspek-aspek yang dimungkinkan menyebabkan ketunacakapan belajar. Langkah yang dilakukan dalam layanan ini diawali dengan memberikan tes kemampuan dasar anak dalam membaca, menulis, berhitung, dan melakukan koordinasi gerak. Langkah selanjutnya dilakukan dengan mengadakan pemeriksaan terhadap aspek-aspek pribadi anak, diantaranya pemeriksaan kesehatan, perkembangan, penglihatan dan pendengaran, keterampilan dan perseptual.
2.      Fasilitas Pendidikan Untuk Anak Berkesulitan belajar Khusus
Fasilitas yang diperlukan untuk anak berkesulitan belajar khusus diantaranya adalah tersedianya perpustakaan yang dilengkapi dengan berbagai koleksi buku yang dapat membantu anak untuk mengatasi kesulitan belajarnya, tersedianya berbagai media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak, tersedianya ruang laboratorium, tenaga pengajar, dan sebagainya.
C.  Layanan Pendidikan Anak Berbakat
1.      Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak berbakat sangat mendorong anak tersebut untuk berprestasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan strategi pembelajaran adalah sebagai berikut.
a.    Pembelajaran anak berbakat harus diwarnai dengan kecepatan dan kompleksitas yang lebih sesuai dengan kemampuannya yang lebih tinggi dari anak normal.
b.    Pembelajaran pada anak berbakat tidak saja mengembangkan kecerdasan intelektual semata, tatapi pengembangan kecerdasan emosional juga patut mendapat perhatian.
c.    Pembelajaran anak berbakat berorientasi pada modifikasi proses, isi, dan produk. Sehubungan dengan itu, M. Soleh YAI (1996) mengemukakan tiga jenis modifikasi sebagai berikut.
·      Modifikasi proses adalah metodologi atau cara guru mengajar termasuk cara mempresentasikan isi materi kepada siswa yang berorientasi kepada berpikir tingkat tinggi, banyak pilihan, mengupayakan penemuan, dan sebagainya.
·      Modifikasi isi adalah modifikasi dalam materi pembelajaran baik berupa ide, konsep, maupun fakta.
·      Modifikasi produk atau hasil adalah produk kurikulum yang tidak dapat dipisahkan dari isi materi dan proses pembelajaran yang dikembangkan dan merupakan hasil dari proses yang dievaluasi untuk menentukan efektivitas satu program.
2.      Bentuk atau model layanan
Model-model layanan yang dimaksud disini adalah model yang mengarah pada perkembangan anak berbakat diantaranya layanan perkembangan kognitif, nilai, moral, kreativitas dan bidang khusus. Berikut akan dikemukakan apa dan bagaimana implementasi dari model-model itu (adaptasi dari Conny Semiawan, 1995) :
a.       Model layanan kognitif-afektif
Sasaran akhir dari model ini adalah pengembanagn bakat. Metode atau cara dalam melaksanakan model tersebut, yaitu dengan cara pemberian stimulus langsung pada belahan otak kanan, dan metode tak langsung dengan menghayati pengalaman belajar atau percakakapan tertentu secara mendalam.
b.      Model layanan perkembangan moral
Sasaran model ini adalah tercapainya kemandirian moral atau tanggung jawab moral yang diperoleh melalui sosialisasi dan individualisasi dalam kaitan manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Usaha mengimplementasikan model ini adalah sekolah harus menciptakan suasana dengan mengacu pada kemampuan berpikir, yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip dan kepedulian terhadap yang lain.
c.       Model perkembangan nilai
Model ini memperhatikan peranan kehidupan afektif (emosional) sehari-hari seperti rasa senang, sedih, takut, bangga, malu, rasa bersalah, dan bosan. Perasaan-perasaan ini membentuk sikap seseorang dan sebaliknya perkembangan nilai erat hubungannya dengan perkembangan sikap dan merupakan kerangka pembentukan moral seseorang.
d.      Layanan berbagai bidang khusus
Bidang-bidang khusus ini adalah kepemimpinan, seni rupa dan seni pertunjukan
Menurut Kartadinata dikutip dalam Suparno (2010 : 5.17), layanan pendidikan bagi anak berbakat di SD dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap penjaringan dan tahap seleksi. Setelah teridentifikasi keberbakatan anak, langkah selanjutnya adalah menentukan layanan pendidikan bagi mereka. Ada berbagai macam layanan bagi anak berbakat, yaitu :
1)   Layanan akselerasi, yaitu layanan tambahan untuk mempercepat penguasaan kompetensi dalam merealisasikan bakat anak.
2)   Layanan kelas khusus, yaitu anak yang berbakat unggul dikelompokkan dalam satu kelas dan diberikan layanan tersendiri sesuai dengan bakat mereka.
3)   Layanan kelas unggulan, sama dengan layanan kelas khusus hanya saja berbeda dalam model pengayaannya.
4)   Layanan bimbingan sosial dan kepribadian
3.      Fasilitas pendidikan untuk anak berbakat
Fasilitas untuk anak berbakat tidak hanya terbatas pada kelas dan segala alat pendukungnya, namun juga fasilitas atau sarana keberbakatan itu sendiri, seperti ruangan sumber belajar beserta alat-alatnya, sanggar, aula, komputer, alat musik, alat seni lainnya dan tenaga pengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Suparno (dkk). Tanpa tahun. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Banjarmasin : Pendidikan Jarak Jauh Kerjasama Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan dengan FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
IGAK, Wardani (dkk). 2008. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta : Universitas Terbuka.

Tunadaksa dan layanan pendidikannya

Tuna daksa dan layanan pendidikannya

2.1  Pengertian Anak Tunadaksa
Secara etiologis, gambaran seseorang yang diidentifikasi mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemapuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan. Secara definitif, pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal … akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus (Suroyo&Kneedler dalam Efendi, 2006).

Menyimak keadaan fisik yang tampak pada anak tunadaksa ortopedi dan tunadaksa saraf tidak terdapat perbedaaan yang mencolok, sebab secara fisik kedua jenis anak tunadaksa memiliki kesamaan, terutama pada fungsionalisasi anggota tubuh namun, apabila dicermati secara seksama untuk memanfaatkan fungsi tubuhnya akan tampak perbedaan. Konsidi ketunadaksaan dikaitkan dengan masalah sosial ekonomi dapat dikelompokkan:
  1. Penderita tunadaksa yang hanya memerlukan pertolongan dalam menempatkan pada pekerjaan yang cocok.
  2. Penderita tunadaksa karena kelainannya sehingga memerlukan latihan kerja (vocational training) untuk dapat ditempatkan dalam jabatan-jabatan biasa (open employment)
  3. Penderita tunadaksa setelah diberi pertolongan rehabilitasi dan latihan-latihan dapat dipekerjaan dengan perlindungan khusus (sheltered employment).
  4. Penderita tunadaksa yang sedemikian beratnya sehingga memerlukan perawatan secara terus menerus dan tidak mungkin dapat produktif.




2.2  Klasifikasi Anak Tunadaksa
Secara umum, karakteristik kelainan anaak yang dikategorikan sebagai penyandang tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi:
  1. Tunadaksa Ortopedi (orthopedically handicapped)
Anak tunadaksa ortopedi merupakan anak tunadaksa yang mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian baik yang dibawa sejak lahir (congenital) maupun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atau kecelakaan) sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal. Menurut ilmu kedokteran, untuk menetapkan siapa-siapa yang cacat (tunadaksa) dan perlu diberikan pertolongan rehabilitasi jika mempunyai kelainan pada tubuh yang sifatnya menetap dan tidak akan berubah dalam waktu 6 bulan.
Penggolongan anak tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem otot dan rangka adalah sebagai berikut :
  1. a.      Poliomyelitis
Poliomyelitis merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan bersifat menetap.

Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dibedakan menjadi :
  • Tipe spinal  yaitu kelumpuhan pada otot leher, sekat dada, tangan dan kaki
  • Tipe bulbair yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi dengan ditandai adanya gangguan pernafasan
  • Tipe bulbispinalis yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair
  • Encephalitis yang biasa disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.
Kelumpuhan pada polio bersifat layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan atau alat indra. Akibat yang disebabkan oleh penyakit ini adalah otot menjadi kecil (atropi) karena kerusakan sel saraf,adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemendekan anggota gerak,tulang belakang melengkung kesalah satu sisi seperti huruf S (Scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok keluar atau kedalam,dislokasi (sendi yang ke luar dari dudukannya), lutut melenting ke belakang (genu recorvatum).
  1. b.      Muscle dystrophy
Merupakan jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang bersifat progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.


  1. c.       Spina bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu tiga ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Biasanya kasus ini disertai dengan ketunagrahitaan.


  1. Tunadaksa Saraf (neurologically handicapped)
Anak tunadaksa saraf yaitu anak tunadaksa yang mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf di otak. Otak sebagai pengontrol tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh sehingga jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik, emosi, dan mental. Luka pda bagian tertentu, efeknya penderita akan mengalami gangguan dalam perkembangan, mungkin akan berakibat ketidakmampuan dalam melaksanakan berbagai bentuk kegiatan.
Dalam banyak kasus, luka atau gangguan yang terjadi pada otak atau bagian-bagiannya baik yang didapat sebelum, selama, maupun sesudah kelahiran dapat menyebabkan gangguan pada mental, kekacauan bahasa (aphasia), ketidakmampuan membaca (disleksia), ketidakmampuan menulis (agrafia), ketidakmampuan memahami kata-kata (word deafness), ketidakmampuan berbicara (speech defect), ketidakmampuan berhitung (akalkuli), dan berbagai bentuk gangguan gerak lainnya.
Salah satu bentuk kelainan yang terjadi pada fungsi otak dapat dilihat pada anak cerebral palsy. Cerebral palsy berasal dari kata cerebral yang artinya otak, dan palsy yang mempunyai arti ketidakmampuan atau gangguan motorik (Kirk dalam Efendi, 2006). The United Cerebral palsy Association dalam Efendi (2006:118) mendefinisikan cerebral palsy menyangkut gambaran klinis yang diakibatkan oleh luka pada otak, terutama pada komponen yang menjadi penghalang dalam gerak sehingga keadaan anak yang dikategorikan cerebral palsy dapat digambarkan sebagai kondisi semenjak anak-anak dengan kondisi nyata seperti lumpuh, lemah, tidak adanya koordinasi atau penyimpangan fungsi gerak yang disebabkan oleh patologi pusat kontrol gerak di otak.
Cerebral palsy ditandai oleh adanya kelainan gerak, sikap atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi, kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau kecatatan pada masa perkembangan otak. Dalam Wardani (2008: 7.4) cerebral palsy menurut derajat kecacatannya diklasifikasikan menjadi :
  1. Ringan
Ciri-cirinya yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri sendiri.
  1. Sedang
Ciri-cirinya Membutuhkan bantuan untuk latihan bicara, berjalan, dan mengurus diri.
  1. Berat
Ciri-cirinya membutuhkan perawatan tetap dalam ambulansi, bicara, dan menolong diri.
Menurut Hallahan & Kaufman dalam Efendi (2006:119) dilihat dari manifestasi yang tampak pada aktivitas motorik, anak cerebral palsy dapat dikelompokkan menjadi:
  1. a.      Spasticity
Ciri-cirinya terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya hal ini disebabkan oleh kondisi anak yang mengalami spasticity terjadi karena lapisan luar otak (khususnya lapisan motor) bidang piramida dan beberapa kemungkinan bidang ekstra piramida yang berhubungan dengan pengontrolan gerakan sadar tidak berfungsi sempurna. Daerah tertentu pada otak dapat menimbulkan gerakan tertentu, kontraksi, atau rangsangan. Faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut disebut supresor. Apabila ada salah satu supresor ini masuk, maka akan terjadi suatu desakan, akibatnya otot akan berada dalam kondisi tegang dan kejang.

Ketika kondisi otot kejang keseimbangan akan hilang, gerakan yang muncul menjadi tidak harmonis, tidak terkontrol, dan kontraksi otot tidak teratur sehingga gerakan yang tampak seperti suatu hentakan. Beberapa kelompok otot yang dapat dipengaruhi oleh kelumpuhan jenis ini antara lain:
  • Monoplegia
Jika salah satu anggota badan mengalami kekejangan.
  • Hemiplegia
Jika salah satu dari anggota tubuh seperti kaki dan tangan mengalami kekejangan.
  • Triplegia
Jika tiga di antara anggota tubuh, seperti dua kaki dan satu tangan mengalami kekejangan
  • Paraplegia
Jika kekejangan itu terjadi pada kedua kaki.
  • Quadriplegia
Kekejangan yang muncul pada keempat anggota tubuh, sebagian kadang-kadang di kepala dan anggota tubuh lainnya.

  1. b.      Athetosis
Penyebab athetosis yaitu luka pada sistem ekstra piramida yang terletak pada otak depan maupun tengah. Ekstra piramida menjembatani antara kegiatan otot dan kontrol gerak secara otomatis seperti berjalan dan ekspresi wajah.

Anak yang menderita athetosis tampak susah payah untuk berjalan, menggeliat-geliat, dan terhuyung-huyung. Gerakannya tidak berirama dan tidak mengikuti urutan yang wajar sehingga perilakunya sering tidak terkontrol. Meskipun penderita athetosis mampu meletakkan tangan pada mulutnya, namun ketika melakukan gerakan ini tampak berbagai bentuk gerakan yang tidak terkontrol dan ekstrem.
Dalam kondisi tidur, penderita athetosis menggerakkan badannya seperti menggeliat tidak tampak, namun gerakan ini akan muncul pada saat penderita dalam keadaan sadar. Gerakan abnormal penderita athetosis kian menghebat apabila disertai emosi yang tinggi pada dirinya. Karakteristik dari penderita ini mengalami problem pada sejumlah besar tangan, bibir, lidah, serta sejumlah kecil kaki.

  1. c.       Ataxia
Kondisi ataxia disebabkan oleh luka pada otak kecil yang terletak di bagian belakang kepala (cerebellum) yang bekerja sebagai pengontrol keseimbangan dan koordinasi pada kerja otot. Anak yang menderita ataxia gerakannya tidak teratur, berjalan dengan langkah yang tinggi dan dengan mudah menjatuhkannya. Terkadang matanya tidak terkoordinasi, gerakannya seperti tersentak-sentak (nygtamus). Penderita ataxia tidak terdeteksi ketika dilahirkan, namun ketika masa meraban dan berjalan kondisi ini tampak jelas. Ataxia ada beberapa tingkatan mulai dari yang ringan sampai yang sangat berat tergantung perluasan luka pada cerebellum.

  1. d.      Tremor dan Regidity
Ciri-cirinya penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol, kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan, getaran terus menerus pada mata, tangan, atau kepala. Tremor dan regidity mirip dengan athetosis yaitu disebabkan oleh luka pada sistem ekstra piramida.

Tremor pada penderita cerebral palsy dapat diketahui manakala terjadi perubahan fibrasi tubuh secara alami tidak beraturan. Hal ini terjadi akibat gangguan keseimbangan antara kelompok otot yang bekerja berlawanan. Regidity merupakan interferensi terhadap postural tone yang disebabkan oleh resistensi otot-otot agonis dan antagonis. Tremor dan regidity gerakannya terbatas dan menurut irama tertentu serta agak lambat.

  1. Tipe Campuran
Pada kasus-kasus tertentu terdapat penderita yang kondisinya menunjukkan perpaduan di antara jenis-jenis cerebral palsy. Contohnya penderita cerebral palsy yang diidentifikasikan dalam ciri spasticity tampak pula ciri athetosis dan ataxia, atau spasticity dengan tremor atau regidity.

2.3  Etiologi Anak tunadaksa
Kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh atau tunadaksa dapat terjadi pada saat:
  1. Sebelum anak lahir (prenatal)
Insiden kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir atau ketika dalam kandungan dikarenakan faktor genetik dan kerusakan pada sistem saraf pusat. Faktor lain yang menyebabkan kelainan pada bayi selama kandungan yaitu:
  1. Anoxia prenatal, hal ini disebabkan pemisahan bayi dari placenta, penyakit anemia, kondisi jantung yang gawat, shock, percobaan abortus (penguguran kandungan).
  2. Gangguan metabolisme pada ibu
  3. Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi sistem syarat pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
  4. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya ibu jatuh dan perutnya membentur yang cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi maka dapat merusak sistem syaraf pusat.
  5. Faktor rhesus.
  1. Saat lahir (neonatal)
Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antra lain
  1. Kesulitan persalinan karena letak bayi sungsang atau pinggung ibu terlalu kecil.
  2. Pendarahan pada otak pada saat kelahiran.
  3. Kelahiran prematur.
  4. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.
  5. Gangguan pada placenta yang dapat mengurangi oksigen sehingga mengakibatkan terjadinya anoxia.
  6. Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun fungsinya.
  1. Setelah anak lahir (posnatal)
Adapun kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi pada masa setelah anak lahir disebabkan oleh
  1. Faktor penyakit seperti meningitis (radang selaput otak), encephalitis (radang otak), influenza, diphteria, dan partusis.
  2. Faktor kecelakaan, misalnya kecelakaan lalu lintas, terkena benturan benda keras, terjatuh dari tempat yang berbahaya bagi tubuhnya khususnya bagian kepala yang melindungi otak.
  3. Pertumbuhan tubuh atau tulang yang tidak sempurna.

2.4  Dampak Ketunadaksaan
Tidak dapat dipungkiri bahwa fungsi motorik dalam kehidupan manusia sangat penting, terutama jika seseorang itu ingin mengadakan kontak dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam sekitarnya. Maka peranan motorik sebagai sarana yang dapat mengantarkan seseorang  untuk melakukan aktifitas mempunyai posisi yang dapat mengantarkan seseorang untuk melakukan aktifitas mempunyai posisi yang sangat strategis, disamping kesertaan indra yang lain. Oleh karena itu, dengan terganggunya fungsi motorik sebagai akibat dari penyakit, kecelakaan atau bawaan sejak lahir, akan berpengaruh terhadap keharmonisan indra yang lain dan pada gilirannya akan berpengaruh pada fungsi bawaannya.
Ditinjau dari aspek psikologis, anak tunadaksa cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif, memisahkan diri dari lingkungan. Disamping itu terdapat beberapa problema penyerta bagi anak tunadaksa antara lain:
  1. Gangguan Penglihatan Anak Tunadaksa
Penelitian tentang kekurangan atau gangguan penglihatan pada anak tunadaksa cerebral palsy menunjukkan bahwa sejumlah besar dari mereka juga mengalami penyimpangan penglihatan.
  1. Gangguan Pendengaran Anak Tunadaksa
Masalah lain yang dihadapi oleh anak cerebral palsy adalah gangguan ketajaman pendengaran. Semula ada keraguan bahwa kerusakan otak dapat berpengaruh pada kemampuan atau ketajaman pendengaran, sebagaimana kerusakan otak berpengaruh pada kerusakan penglihatan. Hal ini didasari pemikiran bahwa pendengaran tidak memiliki fungsi-funfsi motor, dan berbeda dengan penglihatan yang dibantu otot-tot mata.
Kelainan bicara yang dialami anak cerebral palsy antara lain dysarthria (gangguan bicara pada bagian artikulasinya akibat lemahnya pengontrolan gerak), delayed speech (gangguan bicara karena keterbelakangan mental dan disfungsinya otak), voice disorder (gangguan pita suara), stuttering (gagap), serta aphasia (gangguan bahasa verbal).
  1. Gangguan Presepsi Anak Tunadaksa
Gangguan lain yang bersifat psikologis dari anak cerebral palsy adalah gangguan presepsi. Presepsi dalam beberapa referensi disepakati mencakup pendengaran (auditory), penglihatan (visual), sentuhan (tactile), serta kepekaan modalitas yang lain. Secara kuantitatif anak tunadaksa ortopedi tidak menunjukkan perbedaan dengan yang lain, sebab dalam beberapa studi memang tidak terbukti dan problem penyesuaian diri lebih banyak terjadi pada anak tunadaksa ortopedi maka harus dilihat dari tiga segi, yaitu:
  1. Sikap lingkungan masyarakat terhadap ketunadaksaan yang diderita anak.
  2. Sikap lingkungan keluarga terhadap ketunadaksaan yang diderita anaknya.
  3. Reaksi penderita sendiri terhadap sikap lingkungan dan terhadap kecacatannya. Dapat disimpulkan bahwa masalah untuk anak tunadaksa bukan saja karena kondisi fisiknya yang berkelainan, melainkan masalah sosial dan psikologis pun harus turut diperhatikan.

2.5  Karakteristik Anak Tunadaksa
  1. Karakteristik Kognitif
Implikasi dalam konteks perkembangan kognitif menurut Gunarsa dalam Efendi (2006:124)  ada empat aspek yang turut mewarnai, yaitu:
  1. Kematangan, kematangan merupakan perkembangan susunan saraf misalnya mendengar yang diakibatkan kematangan susunan sarat tersebut.
  2. Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara organism dengan lingkungan dan dunianya.
  3. Transmisi sosial, yaitu pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan sosial.
  4. Ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan yang mengatur dalam diri anak.
Untuk mengembangkan fungsi kognitif sebagai alat adaptasi terhadap lingkungan, dapat dilakukan melalui dua proses yang saling memengaruhi. Proses tersebut yakni asimilasi (integritas elemen-elemen dari luar terhadap struktur yang sudah lengkap pada organism) dan akomodasi (proses dimana terjadi perubahan pada subjek agar bisa menyesuaikan terhadap objek yang ada di luar dirinya).
Tunadaksa di bagi menjadi dua yaitu tunadaksa ortopedi dan tunadaksa saraf, meski keduanya termasuk dalam tunadaksa yang memiliki gejala kesulitan yang sama, namun jika ditelaah lebih lanjut terdapat perbedaan yang mendasar. Dari segi kognitif misalnya, wujud konkretnya dapat dilihat dari angka indeks kecerdasan (IQ). Kondisi ketunadaksaan pada anak sebagian besar menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan kognitif. Khususnya anak cerebral palsy, selain mengalami kesulitan dalam belajar dan perkembangan fungsi kognitifnya, mereka pun seringkali mengalami kesulitan dalam komunikasi, presepsi, maupun control geraknya, bahkan beberapa penelitian sebagian besar diketahui terbelakang mental (tunagrahita).
  1. Karakteristik Intelegensi Tunadaksa
Untuk mengetahui tingkat intelegensi anak tunadaksa dapat digunakan tes yang telah dimodifikasi agar sesuai dengan anak tunadaksa. Tes tersebut antara lain Hausserman Test (untuk anak tunadaksa ringan), Illinois Test (The Psycholinguistis Ability), dan Peabody Picture Vocabulary Test. Lee dalam Soemantri (2007:129) mengungkapkan hasil penelitian yang menggunakan tes Binet untuk mengukur tingkat intelegensi anak tunadaksa yang berumur antara 3 sampai 6 tahun sebagai berikut:
  1. IQ tunadaksa berkisar antara 35-138.
  2. Rata-rata mereka adalah IQ 57.
  3. Klasifikasi tunadaksa yang lain yaitu:
  1. Anak polio mempunyai rata-rata intelegensi yang tinggi yaitu IQ 92.
  2. Anak yang TBC tulang rata-rata IQ 88
  3. Anak yang cacat konginetal rata-rata IQ 61
  4. Anak yang sapstik rata-rata IQ 69
  5. Anak cacat pada pusat syaraf rata-rata IQ 74
Pada anak cerebal palsy, kelainan yang mereka derita secara langsung menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan intelegensi. Mereka lebih banyak mengalami kesulitan daripada anak tunadaksa pada umumnya. Mereka banyak mengalami kesulitan baik dalam komunikasi, persepsi, maupun kontrol gerak. Hasil pengukuran intelegensi anak cerebral palsy tidak menunjukkan kurva normal, semakin tinggi IQ semakin sedikit jumlahnya.
  1. Karakteristik Kepribadian Anak Tunadaksa
Terdapat hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian anak tunadaksa, antara lain:
  1. Terhambatnya aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan frustasi
  2. Timbulnya kekhawatiran orang tua yang berlebihan yang justru akan menghambat terhadap perkembangan kepribadian anak karena orang tua biasanya cenderung over protective.
  3. Perlakuan orang sekitar yang membedakan terhadap anak tunadaksa menyebabkan anak merasa bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.
Hal-hal sebagaimana dijelaskan diatas, efek tidak langsung akibat ketunadaksaan yang dialami seseorang dapat menimbulkan sifat hargadiri rendah, kurang percaya diri, kurang memiliki inisiatif, atau mematikan kreatifitasnya. Faktor dominan yang memengaruhi perkembangan kepribadian atau emosi anak adalah lingkungan. Atas dasar itulah presepsi sosial yang dapat menjatuhkan perasaan anak tunadaksa akan berpengaruh terhadap self concept-nya. Hal ini disebabkan sikap belaskasihan dari orang lain sering digunakan oleh tunadaksa.
Hal lain yang menjadi problem penyesuaian anak tunadaksa adalah perasaan bahwa orang lain terlalu membesar-besarkan ketidakmampuannya. Ketiadaan kesempatan untuk berpartisipasi praktis menyebabkan anak tunadaksa sukar untuk mengadakan penyesuaian sosial yang baik. Demikian juga sikap masyarakat, secara langsung atau tidak langsung memiliki pengaruh yang besar terhadap penyesuaian anak tunadaksa. Sikap masyarakat terhadap anak kondisi ketunaan yang dialami anak tunadaksa seringkali bertentangan dengan penilaian penderita sendiri. Konfrontasi antara sikap masyarakat dengan penilaian anak sendiri terhadap ketunaan, dalam mencari penyelesaiannya terdapat kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
  1. Anak tunadaksa mungkin sekali menolak respons lingkungan terhadap dirinya
  2. Mungkin pula anak tunadaksa meninggalakan sama sekali  penilaian terhadap dirinya
  3. Atau mungkin pula anak tunadaksa mencari jalan tengah antara kedua respons di atas.
Berdasarkan latar belakang anak tunadaksa yang mengalami kesulitan dalm proses penyesuaian sosialnya, berikut ini beberapa petunjuk yang dapat digunakan anak tunadaksa dalam mencapai proses penyesuaian sosial yang sehat antara lain:
  1. Hendaknya penderita menghadapi kenyataan secara objektif
  2. Menyadari masalah yang dihadapi di dalam interaksi sosial
  3. Mengusahakan mendapatkan pengobatan atau terapi semaksimal mungkin
  4. Mencari alat bantu atau prothese yang akan membantu meringankan hambatan yang disebabkan oleh kenetraannya
  5. Berusaha mendapatkan pendidikan
  6. Berupaya memberikan bimbingan dan penyuluhan
  7. Berusaha memusatkan perhatian pada kemampuan yang dimiliki

  1. Karakteristik Fisik
Aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh individu. Pada anak tunadaksa, potensi itu tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna. Potensi itu tidak utuh karena ada bagian Secara umum perkembangan fisik anak tunadaksa dapat dikatakan hampir sama dengan anak normal kecuali bagian-bagian tubuh yang mengalami kerusakan atau bagian-bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan tersebut.

  1. Karakteristik Bahasa/Bicara Anak Tunadaksa
Setiap manusia memilki potensi untuk berbahasa, potensi tersebut akan berkembang menjadi kecakapan berbahasa melalui proses yang berlangsung sejalan dengan kesiapan dan kematangan sensori motoriknya. Pada anak tunadaksa jenis polio, perkembangan bahasa/bicaranya tidak begitu anak normal, lain halnya dengan anak cerebral palsy. Terjadinya kelainan bicara pada anak cerbral palsy disebabkan oleh ketidakmampuan dalam kondisi motorik organ bicaranya akibat kerusakan atau kelainan sistem neumotor. Gangguan bicara pada anak cerebral palsy biasanya berupa kesulitan artikulasi, phonasi, dan sistem respirasi.
Adanya gangguan bicara pada anak cerebral palsy mengakibatkan mereka mengalami problem psikologis yang disebabkan kesulitan dalam mengungkapkan pikiran, keinginan, atau kehendaknya. Mereka biasanya menjadi mudah tersinggung, tidak memberikan perhatian yang lama terhadap sesuatu,  merasa terasing dari keluarga dan temannya.
  1. Perkembangan Emosi Anak Tunadaksa
Banyak masalah yang muncul sehubungan dengan sikap dan perlakuan anak-anak normal yang berinteraksi dengan anak-anak tunadaksa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia ketika ketunadaksaan mulai terjadi turut mempengaruhi perkembangan emosi anak tersebut. Anak tunadaksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi sebagai tunadaksa secara bertahap. Sedangkan anak yang mengalami ketunadaksaan setelah besar mengalaminya sebagai suatu hal yang mendadak, disamping anak yang bersangkutan pernah menjalani kehidupan sebagai orang yang normal sehingga keadaan tunadaksa dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk diterima oleh anak yang bersangkutan. Dukungan orang tua dan orang-orang di sekelilingnya merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan emosi anak tunadaksa. Orang tua anak tunadaksa sering memperlakukan anak-anak mereka dengan sikap terlalu melindungi, misalnya dengan memenuhi segala keinginannya dan memenuhi secara berlebihan. Di samping itu ada juga orang tua yang menyebabkan anak-anak tunadaksa merasakan ketergantungan sehingga merasa takut serta cemas dalam menghadapi lingkungan yang tidak dikenalnya.
  1. Perkembangan Sosial Anak Tunadaksa
Keanekaragaman pengaruh perkembangan yang bersifat negatif menimbulkan resiko bertambah besarnya kemungkinan munculnya kesulitan dalam penyesuaian diri pada anak tunadaksa. Sebenarnya kondisi sosial yang positif menunjukkan kecenderungan untuk menetralisasi akibat keadaan tunadaksa tersebut. Nampak atau tidak nampaknya keadaan tunadaksa itu merupakan faktor yang penting dalam penyesuaian diri anak tunadaksa dengan lingkungannya, karena hal itu sangat berpengaruh terhadap sikap dan perlakuan anak-anak normal terhadap anak-anak tunadaksa.
Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak tunadaksa. Dengan demikian akan mempengaruhi respon sebagian terhadap lingkungannya. Ejekan dan gangguan anak-anak normal terhadap anak tunadaksa akan menimbulkan kepekaan efektif pada anak tunadaksa yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri mereka terhadap lingkungan sosialnya. Keadaan ini menyebabkan hambatan pergaulan sosial anak tunadaksa.
Di jaman yang sudah demikian maju seperti sekarang ini, keberhasilan seseorang sering diukur dari prestasinya dan di dalam masyarakat dikenal norma tertentu bagi prestasi individu. Keterbatasan kemampuan anak tunadaksa seringkali menyebabkan mereka menarik diri dari pergaulan masyarakat yang mempunyai prestasi yang jauh di luar jangkauannya.
Secara umum anak-anak normal menunjukkan sikap yang berbeda terhadap anak-anak tunadaksa bila dibadingkan dengan sikap merkea terhadap anak-anak normal. Demikian pula hanya sikap guru. Perbedaan perlakuan ini nampaknya berkaitan dengan refrence group yang berbeda antara anak normal dan anak tunadaksa.

2.6  Layanan Pendidikan Anak Tunadaksa dalam Seting Inklusif
Layanan pendidikan anak tunadaksa memiliki subtansi-subtansi, diantaranya mengenai tujuan pendidikan anak tunadaksa, tempat pendidikan, sistem pendidikan, dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar bagi anak tunadaksa.
  1. a.      Tujuan Pendidikan Anak Tunadaksa
Tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Sasaran pendidikan pada tunadaksa bersifat dual purpose (ganda), yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan pengembangan dalam pendidikannya. Tujuan utamanya adalah terbentuknya kemandirian dan keutuhan pribadi anak tunadaksa.  Pendidikan anak tunadaksa perlu mengembangkan 7 aspek yaitu:
  1. Pengembangan Intelektual dan Akademik
Pengembangan aspek ini dapat dilaksanakan secara formal di sekolah melalui kegiatan pembelajaran. Di sekolah khusus anak tunadaksa (SLB-D) tersedia seperangkat kurikulum dengan semua pedoman pelaksanaannya, namun hal yang lebih penting adalah pemberian kesempatan dan perhatian khusus pada anak tunadaksa untuk mengoptimalkan perkembangan intelektual dan akademiknya.
  1. Membantu Perkembangan Fisik
Dalam proses pendidikan guru harus turut bertanggung jawab terhadap pengembangan fisiknya dengan cara bekerja sama dengan staf medis. Hambatan utama dalam belajar adalah adanya gangguan motorik. Oleh karena itu, guru harus dapat mengatasi gangguan tersebut sehingga anak memperoleh kemudahan dalam mengikuti pendidikan. Guru harus membantu memelihara kesehatan fisik anak, mengoreksi gerakan anak yang salah dan mengembangkan ke arah gerak yang normal.
  1. Meningkatkan Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri Anak
Dalam proses pendidikan, para guru bekerja sama dengan psikolog harus menanamkan konsep diri yang positif terhadap ketunaan agar dapat menerima dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif sehingga dapat mendorong terciptanya interaksi yang harmonis.
  1. Mematangkan Aspek Sosial
Aspek sosial meliputi kegiatan kelompok dan kebersamaannya perlu dikembangkan dengan pemberian peran kepada anak tunadaksa agar turut serta bertanggung jawab atas tugas yang diberikan serta dapat bekerja sama dengan kelompoknya.
  1. Mematangkan Moral dan Spiritual
Dalam proses pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang nilai-nilai, norma kehidupan, dan keagamaan untuk membantu mematangkan moral dan spiritualnya.
  1. Meningkatkan ekspresi diri
Ekspresi diri anak tunadaksa perlu ditingkatkan melalui kegiatan kesenian, keterampilan atau kerajinan.
  1. Mempersiapkan Masa Depan Anak
Dalam proses pendidikan, guru dan personel lainnya bertugas untuk menyiapkan masa depan anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membiasakan anak bekerja sesuai dengan kemampuannya, membekali mereka dengan latihan keterampilan yang menghasilkan sesuatu yang dapat dijadikan bekal hidupnya.
  1. b.      Sistem Pendidikan
Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian D), namun anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang mengikuti pendidikan di sekolah umum harus mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus sesuai dengan kebutuhannya.
Akibatnya, mereka memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah terutama dalam mata pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan fisik (Astati, 2000). Sehubungan dengan itu Kirk (1986) mengemukakan bahwa adaptasi pendidikan anak tunadaksa apabila ditempatkan di sekolah umum adalah sebagai berikut.
  • Penempatan di kelas reguler
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
a)        Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak tunadaksa untuk bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun trotoar, pintu agak besar sehingga anak dapat menggunakan kursi roda.
b)        Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tunadaksa karena anak sering tidak masuk sekolah.
c)        Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya untuk melihat masalah fisiknya secara langsung
d)       Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik dan kesehatan yang lebih parah.
  • Penempatan di ruang sumber belajar dan kelas khusus
Murid yang mengalami ketinggalan dari temannya di kelas reguler karena ia sakit-sakitan diberi layanan tambahan oleh guru di ruang sumber. Murid yang datang ke ruang sumber tergantung pada materi pelajaran yang menjadi ketinggalannya, sedangkan siswa yang mengunjungi kelas khusus biasanya anak yang mengalami kelainan fisik tingkat sedang dengan inteligensia normal. Misalnya, anak yang tidak dapat berbicara maka ia perlu masuk kelas khusus sebagai persiapan anak untuk memasuki kelas reguler karena selama anak di kelas khusus ia sering bermain, ke kantin, dan upacara bersama dengan anak normal (siswa kelas reguler).

  1. c.       Kebutuhan Pendidikan bagi Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa secara umum hampir tidak memerlukan program pembelajaran yang berbeda dengan anak normal lainnya. Bahkan sebagian dari mereka khususnya yang mengalami gangguan ortopedi memiliki kemampuan kognisi yang relatif baik seperti halnya teman-teman yang normal lainnya. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh guru sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas:
  1. Keluasan Gerak
Derajat gangguan fisik yang dialami oleh tunadaksa sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Berkaitan dengan kebervariasian tersebut maka hal penting yang harus diperhatikan oleh guru adalah bagaimana agar anak dapat mengakses ke semua penjuru layanan pendidikan di sekolah dengan memperhatikan keleluasaan gerak anak. Masalah akses utama adalah yang berkaitan dengan akses menuju gedung sekolah, ruangan kelas, dan fasilitas sekolah lainnya (ruang perpustakaan, laboratorium, ruang olahraga, dan toilet).
  1. Latihan Keterampilan Menolong Diri (Self Help)
Anak-anak berkelainan fisik dalam beberapa hal sangat membutuhkan latihan batu diri (self help). Self help sangat dibutuhkan anak terutama yang berkaitan dengan aktivitas mereka sehari-hari baik di sekolah, rumah, maupun di lingkungan umum. Hal tersebut diharapkan anak bisa mandiri dan tidak terlalu bergantung pada orang lain. Contohnya kegiatan makan dan minum, kegiatan yang melibatkan motorik halus (menggambar, menulis, melipat), keterampilan buang air kecil. Dari contoh tersebut merupakan hal yang penting yang harus dikuasai anak di sekolah.
  1. Kebutuhan Psikososial
Hambatan fisik pada anak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan psikologisnya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tunadaksa memiliki kesulitan dalam mengembangkan sense of self esteem yang positif dan mengalami kecemasan yang lebih besar dibandingkan anak normal lainnya (Harvey dalam Iriyanto, 2010:63). Untuk mendukung agar anak tunadaksa memiliki sifat  sense of self esteem yang positif, maka seluruh anggota keluarga, guru di sekolah, dan teman-teman sebaya di kelas harus memberikan dukungan dan bisa menerima anak dengan segala kelebihan maupun kekurangannya. Dengan dukungan yang positif ini diharapkan anak dapat menerima keadaan dirinya secara positif dan pada akhirnya menumbuhkan minat atau motivasi berprestasi di sekolah.

  1. d.      Strategi Membantu Anak Tunadaksa agar Berhasil di Sekolah
Bagi siswa berkelainan fisik dalam belajar di sekolah membutuhkan lingkungan yang kondusif, baik lingkungan fisik, psikologis, maupun sosial. di sekolah inklusi integrasi pembelajaran antara siswa normal dan berkelainan fisik memerlukan penggabungan antara guru reguler dengan guru pembimbing khusus atau dengan tenaga profesional lainnya. Demikian juga di dalam kelas anak sangat membutuhkan sikap positif yang dapat diterima dari guru dan teman lainnya.
  1. Pengajaran Kemandirian
Penekanan pembelajaran yang dianjurkan adalah latihan kemandirian yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan anak. Melalui pembelajaran kemandirian diharapkan dapat mendukung kemandirian pribadi, kepercayaan diri, dan self esteem yang baik. Beberapa pengajaran kemandirian yang disarankan yaitu: kemandirian dalam hal belajar, aktivitas kehidupan sehari-hari, dan komunikasi/sosialisasi dengan teman sebaya, guru, maupun orang dewasa lainnya.
  1. Belajar Kelompok
Belajar kelompok dalam penerapan di sekolah memiliki nilai positif terutama dalam membaurkan anak tunadaksa dengan anak normal di kelas yang bersangkutan. Dengan belajar kelompok tersebut diharapkan dapat terbentuk sikap positif anak yang saling menghargai, saling mengerti, saling toleransi yang akhirnya dapat meniadakan atau meminimalisir kecurigaan negatif di antara satu dengan yang lainnya.
  1. Team Teaching
Hal terpenting dalam upaya membentuk kelas/sekolah inklusi adalah perlunya pendidik bekerjasama dalam memberikan layanan pendidikan yang seefektif mungkin bagi semua anak, baik anak bekelainan fisik maupun anak normal. Beberapa keuntungan team teaching menurut Cohen dalam Iriyanto (2010:65) pembelajaran di sekolah inklusi antara lain:
  • Terciptanya suatu rancangan pembelajaran yang efektif
  • Menciptakan atau menghasilkan pemecahan masalah yang terukur
  • Menumbuhkan harga diri
  • Meningkatkan kemampuan komunikasi
  • Meningkatkan kemampuan sosial yang lebih efektif dan efisien
  • Menambah wawsan akademis yang lebih mumpuni
  1. 4.      Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran
Dalam pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan keterlaksanaannya, seperti berikut.
  1. Perencanaan Kegiatan Pembelajaran
Sehubungan dengan perencanaan kegiatan pembelajaran bagi anak tunadaksa, Ronald L. Taylor (1984) mengemukakan, apabila penyandang cacat menerima pelayanan pendidikan di sekolah formal maka ia harus memperoleh pelayanan pendidikan yang diindividualisasikan. Dalam rangka mengembangkan program pendidikan yang diindividualisasikan, banyak informasi/data yang diperlukan dan salah satunya dihasilkan melalui assessment. Adapun langkah-langkah utama dalam merancang suatu program pendidikan individual (PPI) yaitu:
  1. Membentuk tim PPI atau Tim Penilai Program Pendidikan yang diindividualisasikan (TP3I), yang mencakup guru khusus, guru reguler, diagnostician, kepala sekolah, orang tua, siswa, serta personel lain yang diperlukan.
  2. Menilai kekuatan dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan dengan assessment.
  3. Mengembangkan tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran jangka pendek.
  4. Merancang metode dan prosedur pencapaian tujuan
  5. Menentukan metode dan evaluasi kemajuan

  1. Prinsip Pembelajaran
Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak tunadaksa, diantaranya sebagai berikut.
  1. Prinsip multisensori (banyak indra)
Proses pendidikan anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tunadaksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan multisensori, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman.
  1. Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
  1. Penataan Lingkungan Belajar
Berhubung anak tunadaksa mengalami gangguan motorik maka dalam mengikuti pendidikan membutuhkan perlengkapan khusus dalam lingkungan belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya dilengkapi ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat mendukung kelancaran kegiatan anak tunadaksa di sekolah. Bangunan-bangunan gedung sebaiknya dirancang dengan memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah ke luar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada di ruangan itu mudah digunakan (Musyafak Assyari dalam Astati, ).
Beberapa kondisi khusus mengenai gedung itu adalah sebagai berikut.
  1. Macam-macam ruangan khusus, seperti ruang poliklinik/UKS untuk pemeriksaan dan perawatan kesehatan anak, ruang untuk latihan bina gerak (physiotherapy), ruang untuk bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina diri, terapi okupasi, dan ruang bermain, serta lapangan.
  2. Jalan masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang memungkinkan anak tunadaksa yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace, kruk, dan lain-lain, dapat bergerak dengan aman.
  3. Tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai
  4. Lantai bangunan baik di dalam dan di luar gedung sebaiknya dibuat dari bahan yang tidak licin.
  5. Pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintunya dibuat mengatup ke dalam.
  6. Untuk menghubungkan bangunan/kelas yang satu dengan yang lain sebaiknya disediakan lorong (koridor) yang lebar dan ada pegangan di tembok agar anak dapat mandiri berambulasi.
  7. Pada beberapa dinding lorong dapat dipasang cermin besar untuk digunakan anak mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan yang salah.
  8. Kamar mandi/kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah dan segera dapat menjangkaunya.
  9. Dipasang WC duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu menggunakannya.
  10. Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat disetel, tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang belt (sabuk) agar aman.
2.7  Rehabilitasi Anak Tunadaksa
Maksud rehabilitasi disini adalah suatu upaya yang dilakuakan pada penyandang kelainan fungsi tubuh atau tunadaksa, agar memiliki kesanggupan untuk berbuat sesuatu yang berguna baik bagi dirinya maupun orang lain. Sebagaimana telah di singgung pada bagian sebelumnya bahwa kelainan pada fungsi anggota tubuh, baik yang tergolong pada tunadaksa ortopedi maupun neurologis akan berpengaruh terhadap kemampuan fisik, mental, dan sosial dalam meniti tugas perkembangannya. Oleh karena itu, tekanan rehabilitasi penderita tunadaksa hendaknya menitikberatkan kepada aspek-aspek tersebut. Jenis rehabilitasi bagi penyandang tunadaksa menurut kebutuhannya antara lain:
  1. 1.      Rehabilitasi Medis
Dalam rehabilitasi medis ada beberapa teknik yang dapat digunakan, antara lain operasi ortopedi, fisioterapi, actives in daily living (ADL), occupational therapy atau terapi tugas, pemberian pemberian protease, pemberian alat-alat ortopedi, dan bantuan teknis lainnya. Operasi ortopedi dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki salah bentukdan salah gerak dengan mengurangi atau menghilangkan bagian yang menyebabkan terjadinya kesalahan bentuk atau gerak.
Fisioterapi adalah melatih otot-otot bagian badan yang mengalami kelainan, yang dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan medis. Dalam latihan ini melibatkan otot atau gerak secara aktif melalui berbagai kegiatan fisik, latihan berjalan, latihan keseimbangan, dan lain-lain. Untuk latihan fisioterapi ini sarana dan metode yang digunakan sangat bervariasi, meliputi pengunaan air (bydrotherapy), penggunaan panas sinar (thermotherapy), penggunaan listrik (electric therapy), penggunaan gerak-gerak (kinesiotherapy), atau melalui pemijatan (massage).
Activities daily living adalah latihan berbagai kegiatan sehari-hari, dengan maksud untuk melatih penderita agar mampu melakukan gerakan atau perbuatan menurut keterbatasan kemampuan fisiknya. Latihan kegiatan sehari-hari dapat dikaitkan dengan aktivitas di lingkunganrumah maupun dalam hubungannya dengan pekerjaan dan kehidupan sosialnya.
Occupational therapy adalah bentuk usaha atau aktifitas bersifat fisik dan psikis dengan tujuan membantu penderita tunadaksa agar menjadi lebih baik dan kuat dari kondisi sebelumnya melalui sejumlah tugas atau pekerjaan tertentu. Sarana yang dapat digunakan dalam kegiatan terapi tugas ini antara lain melukis, memahat, membuat kerajinan tangan, menyulam, merajut, untuk melatih kemampuan tangan.
Pemberian protease adalah pemberian perangkat tiruan untuk mengganti bagian-bagian dari tubuh yang hilang atau cacat, misalnya kaki tiruan, tangan tiruan, mata tiruan, gigi tiruan, dan sebagainya. Dilihat dari kegunaannya protease bagi penyandang tunadaksa dapat bersifat fungsional (mampu menggantikan funfsi tubuh lain) dan bersifat kosmetik (sebagai pelengkap untuk menambah kepantasan atau keindahan).
Perangkat ortopedi adalah perangkat yang berfungsi untuk menguatkan bagian-bagian tubuh yang lemah atau layu. Perangkat tersebut dapat berupa brance dan spint. Dilihat dari fungsinya perangkat ortopedi dapat dibagi menjadi:
  1. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian tulang punggung dan badan
  2. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian-bagian anggota gerak atas
  3. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat anggota gerak bawah.
Adapun fungsi kedua dari alat tersebut antara lain:
  1. Menguatkan dan mengembalikan fungsi
  2. Mencegah agar tidak menimbulkan salah bentuk
  3. Pembatasan gerak
  4. Perbaikan salah bentuk

  1. 2.      Rehabilitasi Vokasional
Rehabilitasi vokasional atau karya adalah rehabilitasi penderita kelainan fungsi tubuh bertujuan member kesempatan anak tunadaksa untuk bekerja. Metode atau pendekatan yang lazim digunakan dalam rehabilitasi vokasi ini antara lain:
  • Counseling, adalah penyuluhan yang bertujuan untuk menumbuhkan keberanian atau kemauan penderita tunadaksa yang diperoleh setelah lahir, sebeb ada kalanya mereka tidak memahami jalan keluarnya setelah menderita ketunaan, untuk bangkit kembali.
  • Revalidasi, merupakan upaya mempersiapkan fisik, mental, dan sosial anak tunadaksa untuk memperoleh bimbingan jabatan dan latihan kerja.
  • Vocasional guide, adalah pemberian bimbingan kepada penderita tunadaksa dalam kaitannya pemilihan jabatan yang sesuai dengan kondisinya.
  • Vocasional assessment, merupakan penialian terhadap kemampuan penyandang kelainan melalui sebuah bengkel kerja dalam melakukan berbagai aktivitas keterampilan.
  • Team work, adalah kerjasama antar berbagai ahli yang tergabung dalam tim rehabilitasi, seperti kedokteran, ahli terapi fisik, pekerja sosial, konselor, psikolog, ortopedagog, dan tenaga ahli lainnya.
  • Vocasional training, adalah pemberian kesempatan latihan kerja agar penyandang tunadaksa mandiri dan produktif, serta berguna bagi masyarakat di sekitarnya.
  • Selective placement, adalah penempatan para penyandang tunadaksa pada jabatan setelah selesai menjalani pendidikan dan latihan selama rehabilitasi.
  • Follow up, adalah tindak lanjut yang dilaksanakan setelah penyandang tunadaksa menempati jabatan pekerjaan.

  1. 3.      Rehabilitasi Psikososial
Rehabilitasi psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan harapan mereka dapat mengurangi dampak psikososial yang kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Pelaksanaan rehabilitasi psikososial dalam kaitannya dengan program rehabilitasi yang lain dilakukan secara bersamaan dan terintegrasi. Sasaran yang hendak dicapai dalam program rehabilitasi psikososial ini secara khusus yaitu:
  1. Meminimalkan dampak psikososial sebagai akibat kelainan yang dideritanya, seperti rendah diri, putus asa, mudah tersinggung, cemas, lekas marah, dan lain-lain.
  2. Meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri, memupuk semangat juang dalam meraih kehidupan dan penghidupan yang lebih baik, serta menyadarkan pada tanggungjawab diri sendiri, keluarga, masyarakat dan Negara.
  3. Mempersiapkan mental penyandang kelainan kelak setelah terjun di masyarakat sehingga dapat berperan aktif tanpa harus merasa canggung atau terbebani oleh ketunaan atau kelainannya.

Pendidikan layanan khusus bagi anak berbakat

Pendidikan Layanan Khusus bagi Anak Berbakat

Jika setiap anak mendapatkan ‘menu’ belajar yang sama tanpa memandang bakat dan kecerdasanya, menurut Prof. Dr, Conny Semiawan dan Prof. Dr. Utami Munandar, kita melakukan ‘pemubadziran’ potensi kecerdasan anak. Dalam analogi yang sederhana kita mempunyai bahan mentah daging segar untuk dimasak, tapi selalu daging tersebut dimasak dengan cara dibakar atau digoreng saja, tanpa pernah dibuat rendang, atau menu lain yang lebih baik, sehingga daging tersebut tidak mempunyai nilai rasa dan nilai jual yang baik.
Kehadiran program percepatan belajar atau lebih dikenal dengan program kelas akselerasi, mencoba melakukan layanan terhadap anak yang mempunyai kemampuan kecerdasan istimewa. Melalui layanan ini diharapkan anak-anak yang mempunyai criteria yang dipersyaratkan, mampu mengembangkan kecedasannya secara optimal.

Program Percepatan Belajar
Program percepatan belajar (akselerasi) adalah program layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa yang memiliki potensi kecedasan dan bakat istimewa untuk dapat menyelesaikan masa belajarnya lebih cepat dari siswa yang lain (program regular).
Istilah siswa yang memiliki kemampuan dan kecedasan istimewa yang terdapat pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, semula dikenal dengan istilah siswa berbakat. Istilah ini merupakan terjemahan dari Gifted Childern atau Talented Childern atau Genius dari literatur-literatur dalam bahasa Inggris. Istilah Gifted, Telented atau Genius mempunyai kecenderungan digunakan untuk menyebut siswa yang memiliki kemampuan maupun kecerdasan yang melebihi siswa lain pada umumnya yang sebaya dengannya.
Istilah kecerdasan berhubungan dengan intelektual, sedangkan istilah kemampuan berhubungan dengan aspek yang sifatnya non-intelektual. Jika suatu keberbakatan diukur dengan tes intelegensi, Terman(1959) menyebutkan bahwa siswa berbakat adalah mereka yang memiliki IQ diatas 140 (yang termasuk very superior).
Tapi ahli lain, seperti, Renzulli (1981),menyebut adanya tiga kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa berbakat yang dikenal dengan three-ring conception of giftedness yaitu: kemampuan umum yang dapat diukur dengan tes intelegensi, krestivitas, dan pengikatan diri terhadap tugas. Seseorang dikatakan berbakat jika memiliki tiga dimensi tersebut dengan kadar yang tinggi. (Balitbang Diknas, 1999).
Konsep Keberbakatan Menurut Renzulli
Konsep Keberbakatan Menurut Renzulli
Implementasi Program Percepatan Belajar/Akselerasi di sekolah penyelenggaraan pendidikan secara regular yang dilaksanakan selama ini masih bersifat massal, yaitu berorientasi pada kuantitas untuk dapat melayani sebanyak-banyaknya jumlah siswa.  Kelemahan yang segera tampak adalah tidak terakomodasinya kebutuhan individual siswa. Siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa tidak terlayani secara baik sehingga potensi yang dimilikinya tidak dapat tersalur dan berkembang secara optimal (underachiever).
Berdasarkan pengalaman, siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa cenderung lebih cepat menguasai materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Akibatnya, siswa seperti ini harus menunggu siswa lain yang memiliki kurang kemampuan dan kecerdasan darinya. Kedaan ini seing memunculkan tindakan yang kurang baik dari siswa tersebut. Siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa sering dikesankan santai dan nampak kurang memperhatikan pelajaran. Bahkan lebih dari itu, siswa tersebut cenderung dianggap sebagai sumber penghambat kelancaran pembelajaran di kelas karena mangganggu temannya ataupun berbagai perilaku yang dimunculkan untuk memperoleh perhatian guru.
Berdasarakan pengalaman di atas, maka siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa perlu mendapatkan penanganan dan program khusus, sehingga potensi kecerdasan dapat berkembang secara optimal.
Pengembangan program bagi siwa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa didasarkan pada dua prinsip utama, yaitu akselerasi dan eskalasi.
Pertama, Akselerasi dalam program ini menunjuk pada pengertian akselerasi dalam cakupan kurikulum atau program, yang berarti meningkatkan kecepatan waktu dalam menguasai materi yang dipelajari melalui kurikulum berdi-ferensiasi. Selain menggunakan kurikulum berdiferensiasi, dapat juga dengan membedakan beban belajar siswa sesuai dengan kemampuan dan kecepatan belajar tiap semesternya. Kedua, Istilah Eskalasi menunjuk pada penanjakan kehidupan mental melalui berbagai program pengayaan materi. Model eskalasi seperti ini menggunakan kurikulum regular yang dipadatkan sehingga lebih cepat waktu penyelesaiannya, dan ada waktu untuk dalam. Dalam program ini bentuk yang diambil adalah pengayaan kurikulum dalam arti pemberian pengalaman belajar yang lebih berarti dan mendalam pada mata-mata pelajaran atau latihan-latihan tertentu.
Dalam pelaksanaan Program Akselerasi, Komponen pendidikan yang perlu dikembangkan disekolah sebagai berikut:
1. Siswa
Rekurtment siswa, meliputi; penilian akademis, psikolog, nominasi orang tua, nominasi teman sebaya, rekomendasi guru dan kesediaan calon siswa serta persetujuan orang tua.
2. Kurikulum
Kurikulum yang digunakan kurikulum nasional yang disesuaikan (improvisasi) alokasi waktunya sesuai dengan kecepatan belajar akseleran. Kurikulum yang dinamis yang mampu merangsang kreatifitas siswa.
3. Guru
Rekurtmen guru yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan criteria kompetensi dan komitmen yang sangat dibutuhkan untuk dapat mengembangkan potensi anak. Guru harus mempunyai kapasitas akademis yang bisa mencukupi berbagai pertanyaan yang kadang tak terduga, guru juga dituntut sabar dalam manghadapi perilaku akseleran sebagaimana menghadapi putra-putri sendiri yang membutuhkan perhatian lebih. Guru juga harus membuka akses komunikasi yang lebar segala ide dan kritik yang memebganun dari akseleran selayaknya ditanggapi.
4. Sarana-prasarana
Sarana-prasarana yang menunjang disesuaikan denga kemampuan dan kecedasan siswa yang dapat digunakan utnuk memenuhi kebutuhan belajar serta menyalurkan kemampuan, bakat dan minatnya baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler.
5. Manajemen
Manajemen yang berorientasi jauh kedepan dengan fleksibilitas yang tinggi didasari oleh komitmen, ketekunan, pemahaman yang sama serta kebersamaan semua pihak yang terlibat.
6. Lingkungan belajar yang kondusif
Lingkungan yang mendukung berkembangnya potensi keunggulan menjadi prestasi belajar yang nyata dan hasil karta yang bermanfaat. Metode pembelajaran kkonvensional didalam kelas saja kurang efektif, perlu program refreshment untuk pembelajaran diluar kelas/sekolah.
7. Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar yang bekualitas dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan pada siswa, orang tua dan masyarakat. Proses pembelajaran yang kondusif sesuai dengan kebutuhan anak berbakat perlu diusahakan untuk memberikan pengayaan pengalaman, merangsang keingintahuan dan memberikan dorongan kepada siswa untuk berbagai gagasan dan kemampuan dalam menyelesaikan berbagai masalah dengan cepat dan tepat.
8. Dana
Untuk menunjang tercapainya tujuan yang telah ditetapkan perlu dukungan dana yang memadai.