Dibalik Kisah Lenyapnya Dukuh Legetang di Tahun 1955
Di Indonesia, longsor merupakan sebuah bencana yang biasa terjadi saat musim penghujan mulai datang. Banyak daerah di Indonesia yang masuk ke dalam daerah sangat rawan longsor, salah satunya adalah Banjarnegara.
Dari banyaknya kejadian longsor besar di Banjarnegara, ada satu kejadian longsor besar yang melenyapkan sebuah dukuh dalam semalam. Dukuh tersebut adalah Dukuh Legetang, yang saat ini masuk dalam wilayah Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah. Peristiwa longsor besar tersebut terjadi pada 16 April 1955 (malam hari) – 17 April 1955 (dini hari).
Kondisi wilayah Legetang
Dukuh Legetang yang berada di bagian utara Kabupaten Banjarnegara, berada di ketinggian antara 1600 – 1800 mdpl. Wilayah ini merupakan daerah pegunungan dengan topografi curam dan bergelombang, dengan rata-rata kemiringan mencapai lebih dari 40%.
Dikutip dari GEOMAGZ Vol 3 No. 1 Tahun 2013, Dukuh Legetang berada di kaki bukit yang berhadapan dengan Gunung Pengamun-amun. Puncak Gunung Pengamun-amun sendiri berada di ketinggian sekitar 2000 – 2100 mdpl, dan jaraknya sekitar 500 meter dari Dukuh Legetang.
Penyebab dan pemicu longsor Dukuh Legetang
Material longsoran yang mengubur Dukuh Legetang berasal dari Gunung Pengamun-amun. Layaknya sebuah pegunungan, Gunung Pengamun-amun memiliki lereng curam untuk menjadi faktor kontrol penyebab terjadinya longsor.
Selain karena lerengnya yang curam, longsornya material Gunung Pengamun-amun dipicu oleh adanya crack dan fissure (retakan dan celah) dan curah hujan yang tinggi.
Dikutip dari GEOMAGZ, sebelum longsornya material Gunung Pengamun-amun, terdapat saksi dengar kejadian longsor Legetang tahun 1955. Saksi tersebut mengungkapkan bahwa jauh berpuluh hari sebelum terjadinya longsor, terdapat retakan di Gunung Pengamun-amun. Retakan tersebut terus berkembang cukup dalam dan panjang, mengarah ke sisi tenggara gunung, berhadapan dengan bukit di sisi timur.
Kondisi ini diperparah dengan curah hujan tinggi yang telah berlangsung berhari-hari. Kondisi tanah yang retak dan bercelah memudahkan air hujan masuk ke dalam tanah, sehingga meningkatkan kandungan air dalam tanah lereng gunung. Tingginya kandungan air dalam lereng dapat meningkatkan ‘beban lereng’ dan dapat menimbulkan bidang gelincir/luncur di dalam lereng.
Lereng yang retak dan bertambah berat karena akumulasi air hujan, dan adanya bidang gelincir, menyebabkan lereng Gunung Pengamun-amun ambrol. Saksi mata mengatakan bahwa di pagi hari setelah terdengar suara gemuruh besar (akibat longsor), lereng Gunung Pengamun-amun terlihat sudah rompal/ambrol. Ambrolan lereng G. Pengamun-amun di sisi tenggara mengarah ke dinding bukit di seberangnya.
Pak Purbo, seorang staf Jawatan Geologi Bandung (Badan Geologi), menjelaskan runtuhan lereng G. Pengamun-amun meluncur dan terlempar membentur dinding bukit yang berada di seberang G. Pengamun-amun. Kemudian material longsoran yang sangat besar bergerak cepat menelusuri kaki bukit dan mengubur lembah dimana Dukuh Legetang berada.
Akibat longsor besar ini, Dukuh Legetang yang awalnya sebuah lembah berubah menjadi gundukan tanah besar menyerupai bukit. Sebanyak 351 orang dinyatakan meninggal dunia, 332 adalah warga Dukuh Legetang dan 19 lainnya adalah warga tamu dari dukuh lain. Kondisi tahun 1955 yang minim alat berat untuk mencari korban jiwa, membuat korban jiwa dibiarkan terkubur di gundukan bukit tersebut. Untuk mengenang bencana tersebut, pemerintah lokal membuat Tugu Legetang.
Dari peristiwa bencana ini, mengingatkan kembali betapa pentingnya sistem peringatan bencana, sehingga diharapkan dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan dari bencana tersebut.