Entah terbawa suasana karena sudah lama tak berpenghuni atau terbayang sisa-sisa kisah tragisnya.
Bagian dalam bangunan lawas yang berkonstruksi dinding serta kayu itu begitu kotor, sunyi, dan gelap.
Penjaga Gedung Papak sengaja membuka sejumlah jendela di rumah klasik itu untuk mempersilakan cahaya dan udara segar menyusup.
Gedung Papak menjadi salah satu bukti adanya praktik perbudakan seks yang dilakukan kolonialisme Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, istilah "jugun ianfu" sangat terkenal di telinga beberapa kalangan.
Terutama para gadis-gadis asli Indonesia waktu itu.
Jugun Ianfu dijabarkan sebagai tawanan budak seks bagi para tentara Jepang.
Istilah yang digunakan kolonialisme Jepang pada masa Perang Dunia II untuk menyebut para wanita yang dipaksa menjadi pemuas nafsu pasukannya.
Siapa sangka Gedung Papak dahulu adalah rumah bordil yang dihuni para tawanan, yaitu gadis-gadis belia yang merupakan warga asli Kabupaten Grobogan.
Para bunga desa yang malang itu dipaksa memuaskan hasrat seksual tentara Jepang.
"Kebanyakan wanita yang menjadi korban kekerasan seksual tentara Jepang malu dan menghilang. Ada seorang nenek saksi bisu yang menjadi korban budak seksual tentara Jepang. Setahun sekali ia datang diantar keluarganya ke Gedung Papak. Namanya Sri Sukanti," tutur Sokiran (60), penjaga Gedung Papak.
Menurut Sokiran, nenek itu kerap menangis dan marah ketika datang ke Gedung Papak
Nenek itu kemudian menceritakan sejarah kelam gedung tersebut.
"Di kamar di Gedung Papak, ia dan gadis lain yang diculik digilir paksa jadi tawanan budak seks tentara Jepang," kata Sokiran.
Administratur Perum Perhutani KPH Gundih Divisi Regional Jateng, Sudaryana, menyebut Gedung Papak dibangun tahun 1919 sebagai markas besar tentara Belanda.
Gedung tersebut juga difungsikan sebagai tempat penyiksaan pribumi yang dianggap membangkang.
"Hingga akhirnya Gedung Papak dikuasai tentara Jepang. Pada masa itulah Gedung Papak dijadikan rumah bordil yang diisi jugun ianfu atau gadis-gadis pribumi yang dijadikan tawanan budak seks tentara jepang. Mereka digilir saat usia masih belia. Ibu Sri Sukanti adalah saksi bisu kekejaman tentara Jepang. Keberadaan beliau kini belum diketahui lagi," tutur Sudaryana.
Setelah tentara Jepang hengkang dari Indonesia, pada 1953 Gedung Papak diambil alih Perum Perhutani sebagai rumah dinas Administratur KPH Gundih.
Sejak itu, Gedung Papak belum pernah dipugar.
"Saat itu satu keluarga Administratur KPH Gundih meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Gedung Papak tidak difungsikan lagi dan kami tugaskan warga untuk menjaganya," papar dia.
Kini, KPH Gundih berencana menghidupkannya dengan mempercantik bangunan serta mengelolanya menjadi obyek wisata unggulan di Kabupaten Grobogan.
Setelah perbaikan bangunan terealisasi nanti, Gedung Papak akan diusulkan sebagai bagian dari paket wisata.
"Akan kami jadikan sebagai museum. Biar masyarakat tahu ada sejarah kelam kejahatan tentara Belanda dan Jepang di Grobogan. Tentu kami akan berkoordinasi dengan pemerintah Belanda atau Jepang mengingat besarnya anggaran nantinya," ujar Sudaryana.
Wakil Administratur KPH Gundih Kuspriyadi menambahkan, Gedung Papak konon memiliki penjara bawah tanah peninggalan Belanda yang dijadikan sebagai tempat penyiksaan pribumi.
Kebenaran mengenai informasi itu akan ditelusuri setelah Gedung Papak difungsikan lagi nanti.
"Gedung Papak sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh BPCB Jateng. Konon ada ruang bawah tanah dan bahkan ada peninggalan emasnya juga," tuturnya.